

5 Faktor Ini Disebut Jadi ‘Biang Kerok’ Harga Minyak Dunia Tetap Tinggi
MIGAS June 10, 2022 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergi.com
Selepas pandemi Covid-19, dunia kini menghadapi tantangan lain, yaitu tingginya harga energi. Sejumlah lembaga ekonomi dunia memprediksi bahwa harga minyak yang saat ini berkisar antara USD 110 – USD 120 per barel, masih bisa melonjak tinggi.
Goldman Sachs misalnya, mereka menaksir rata-rata harga minyak Brent pada semester II-2022 hingga semester I-2023 akan berkisar USD 135 per barel.
Perusahaan minyak dunia juga memperkirakan potensi kenaikan minyak dunia masih bisa naik sekitar USD 10 per barel dari harga rata-rata saat ini.
Hal itu disampaikan oleh Praktisi yang juga Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, dikutip Jumat (10/6/2022).
Menurut Arcandra, tidak ada satu pihak, baik individu, perusahaan dan negara di dunia yang bisa memastikan harga minyak akan berada di level berapa. Namun ia mencatat ada beberapa faktor yang bisa mendorong harga minyak dunia akan tetap tinggi tahun ini.
Pertama, perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan pasokan minyak ke pasar global berkurang. Sebagai produsen minyak nomor tiga terbesar di dunia, selama ini Rusia memasok sekitar 11 persen dari kebutuhan minyak dunia. Dari pasokan ini, sekitar 4 persen digunakan untuk ekspor ke negara lain.
“Akibat perang tersebut, Rusia dikenakan sanksi untuk tidak mengekspor minyak mentahnya. Kalaupun ada, tentunya tidak melalui mekanisme pasar wajar dan jumlahnya terbatas,” ungkap Arcandra.
Terhentinya ekspor minyak Rusia ini juga akan menjadi persoalan. Karena tidak mudah untuk menghentikan produksi dari lapangan yang sedang berproduksi.
“Sebab dalam banyak pengalaman, ketika sebuah lapangan dihentikan operasinya, selain butuh biaya mahal untuk memulai kembali kegiatan produksi, kemungkinan produksi minyak turun sangat terbuka. Inilah yang menjadi tantangan Rusia saat ini,” kata Arcandra.

Kedua, kata Arcandra, berkurangnya produksi minyak di negara-negara berkembang juga menjadi faktor pemicu melonjaknya harga minyak dunia.
“Ini adalah dampak dari kebijakan perusahaan minyak dari Amerika Serikat (AS) yang mengkonsolidasikan asetnya ke dalam negeri dan juga kebijakan dekarbonisasi yang membuat ongkos produksi jadi naik. Itulah sebabnya beberapa proyek migas milik Chevron, Exxon dan ConocoPhillips di banyak negara berkembang dijual, seperti di Nigeria, Thailand, Indonesia dan Malaysia,” sebut Arcandra.
Selain faktor optimalisasi produksi yang fokus ke lapangan dengan sumber migas besar, perusahaan migas AS juga mulai mengantisipasi dampak pemberlakukan pajak karbon di sejumlah negara.
“Bagaimanapun pajak karbon akan menjadi beban tambahan bagi perusahaan migas, walaupun akhirnya biaya itu akan kembali di bebankan kepada konsumen,” tutur Arcandra.
Akibat konsolidasi perusahaan minyak AS tersebut, tentunya produksi minyak di lapangan yang mereka tinggalkan di negara-negara berkembang akan menurun.
Peralihan ke operator baru tidak serta merta akan mampu menjaga produksi minyak tetap sama. Faktor kemampuan manusia, teknologi dan dana akan sangat menentukan.
Faktor Ketiga, lanjut Arcandra, yaitu strategi Uni Eropa yang beralih ke Renewable Energy mengakibatkan banyak lapangan migas di Laut Utara yang mestinya masih bisa ditingkatkan produksinya dibiarkan beroperasi apa adanya.
“Tanpa investasi yang sungguh-sungguh untuk menahan penurunan laju produksi, mustahil kebutuhan minyak dunia terbantu dari produksi minyak di lapangan Laut Utara,” tutur Arcandra.
Kondisi ini diperparah oleh semakin susahnya mendapatkan akses pendanaan dari lembaga keuangan dunia dan investor yang secara ketat mensyaratkan ESG (Environmental, Social and Governance) yang lebih terencana.
“Satu hal lagi yang menjadi kendala perusahaan migas di Eropa adalah, mahalnya biaya untuk mendapatkan lapangan eksplorasi yang ditawarkan oleh beberapa negara, seperti di offshore UK. Akibatnya kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru menjadi sangat rendah dan harapan akan produksi dari Laut Utara untuk memenuhi kebutuhan minyak dunia semakin pudar,” ungkap Arcandra.
Faktor keempat, kata Arcandra, adalah harapan akan kendaran listrik (EV) secara cepat dapat menggantikan kendaran berbahan bakar fosil (ICE) belum terwujud.
“Banyak hal yang menjadi penyebab kenapa penetrasi EV belum bisa masif. Beberapa diantaranya adalah terbatasnya raw material untuk baterai, pembangunan charging station yang masih terbatas dan kekurangan chip yang sangat dibutuhkan untuk komponen elektronik mobil listrik,” sebut Arcandra.
Faktor kelima, sambung Arcandra, yaitu adanya persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan atau kebutuhan energi untuk biofuel.
Menurutnya, akibat perang Rusia-Ukraina bahan dasar untuk produksi biofuel dialihkan untuk pangan. Biofuel yang diharapkan akan menggantikan fossil fuel belum bisa sepenuhnya diandalkan, akibatnya kebutuhan dunia ke depan akan fossil fuel akan tetap tinggi.
“Ini tentu akan mendorong harga minyak dunia naik,” pungkas Arcandra. (SNU/SL)
No comments so far.
Be first to leave comment below.