

Larangan Ekspor Batubara Diantara Komitmen COP26 dan Kepentingan Nasional
MINERBA January 3, 2022 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, situsenergi.com
Akhir tahun 2021, publik dikagetkan dengan adanya berita yang menyebutkan bahwa PT PLN (Persero) sebagai BUMN yang menguasai cabang produksi penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, sedang atau akan mengalami kelangkaan batubara. Hal ini dibuktikan dengan adanya surat yang disampaikan Direktur Utama PLN yang baru tiga minggu menjabat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) cq. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) pada tanggal 31 Desember 2021.
Tidak berpikir terlalu lama, pada waktu yang sama Dirjen Minerba langsung menanggapi surat dari Dirut PLN Darmawan Prasodjo tersebut dengan melakukan pelarangan ekspor batubara. Luar biasa cepatnya tanggapan dari Kementerian ESDM tentu mengundang tanda tanya bagi sebagian besar pemangku kepentingan (stakeholder) dan publik pada umumnya, ada apakah dengan pasokan batubara seketika akan mengalami kelangkaan?
Apakah ini ada hubungannya dengan meningkatnya harga keekonomian batubara dunia sehingga berlaku hukum permintaan dan penawaran, yang mana saat harga meningkat maka kecenderungan produsen akan menjual produknya ke pasar internasional dibandingkan dengan pasar domestik.
Lalu, kalau terjadi pelarangan ekspor batubara tersebut, bagaimana halnya dengan penerimaan devisa negara, tentu juga akan terganggu kepentingan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan dalam meningkatkan devisa dari penerimaan ekspor minerba ini.
Terkait hal ini, Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori mengaku sangat sepakat kalau kebijakan pelarangan ekspor yang diambil oleh Kementerian ESDM terkait surat Dirut PLN adalah untuk mengutamakan kepentingan pasokan domestik, terutama untuk konsumsi pembangkit listrik milik PLN.
“Sebab, jika hal ini tidak dipenuhi maka kelangkaan batubara akan mengakibatkan pasokan listrik kepada industri dan konsumen Rumah Tangga akan terganggu dan berpotensi terjadinya pemadaman setiap hari,” kata Defiyan dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin (03/1/2022).
Namun demikian, kata Defiyan, publik juga akan bertanya-tanya apakah penyebab kelangkaan pasokan batubara untuk mengantisipasi keluarnya batubara ke pasar luar negeri akibat harganya yang lebih kompetitif.
“Ini juga bisa diartikan bahwa jajaran Direksi PLN selama ini tidak melakukan perhitungan (kalkulasi) yang matang terhadap kebutuhan periodik yang harus disiapkan, apalagi terkait dengan kontrak perjanjian jual beli batubara dengan para pengusaha batubara yang cenderung mencari keuntungan,” cetusnya.
Selain itu, lanjut Defiyan, sebagai pemegang amanah Presidensi G20 (Group of Twenty/kelompok negara maju) dan wujud dari komitmen COP26 yang mengharuskan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi yang merusak atau tidak ramah lingkungan, Presiden Joko Widodo harus mampu memainkan peranan pentingnya.
“Hal ini mengingat, Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bahan bakarnya menggunakan batu bara, disatu sisi. Di sisi lain, pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang harus ditindaklanjuti terkait COP26 masih belum dapat diandalkan untuk menghasilkan listrik,” paparnya.
Lebih jauh ia mengatakan, berdasarkan data yang dipublikasikan PLN, pada Tahun 2019 dari segi kapasitas terpasang PLTU masih mendominasi sekitar hampir 44 persen untuk menghasilkan listrik. Sementara itu, di segmen EBT, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) kontribusinya hanya sekitar 8 persen, diikuti oleh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kontribusi hanya sekitar 3 persen.
“Sedangkan dari sisi produksi listrik, PLTU justru menyumbang lebih besar lagi, yaitu sekitar 61 persen. Dan, segmen EBT, PLTA hanya menyumbang 5 persen, serta PLTP hanya sekitar 2 persen dari produksi listrik dalam negeri,” ungkapnya.
Lalu, dengan posisi seperti ini bagaimanakah kepentingan Presiden Joko Widodo menyelamatkan postur APBN dan keuangan negara atas kebijakan larangan ekspor batubara tersebut terkait dengan potensi devisa bagi penerimaan negara di satu sisi.
“Tidak hanya itu, pada sisi yang lain sebagai pemegang mandat Presidensi G20, Presiden Joko Widodo juga harus menunjukkan komitmen bagi pelaksanaan agenda perubahan iklim (climate change) yang baru saja disepakati dalam pertemuan tingkat tinggi pada tanggal 31 Oktober-12 November 2021 lalu di Glasgow, Skotlandia,” demikian Defiyan Cori.(SL)
No comments so far.
Be first to leave comment below.