Jakarta, Situsenergi.com
PT. PLN (Persero) saat ini tengah mengalami kelebihan pasokan listrik atau over supply akibat skema Take Or Pay (TOP) yang dijalankan antara PLN dengan Independent Power Producer (IPP) alias produsen listrik swasta.
Selain karena adanya proyek kelistrikan 2 x 10.000 MW dan 35.000 MW, over supply juga terjadi lantaran di masa pandemi Covid-19 ini tingkat konsumsi listrik menurun drastis, khususnya dari sektor industri yang memang kapasitas produksinya belum normal.
Over supply akan bertambah parah ketika proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) Pembangkit Listrik Tenaga Listrik (PLTS) Atap mulai digenjot pemerintah. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah pemerintah merevisi Permen ESDM No.49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap) oleh Konsumen PLN. Sebab revisi itu akan merubah tarif ekspor-impor listrik kepada PLN dari yang semula tarifnya 0,65:1 menjadi 1:1. Hal ini dinilai bakal merugikan negara/PLN dan puluhan juta pelanggan PLN.
Peneliti Senior AEPI, Salamuddin Daeng mengatakan, skema TOP yang dijalankan PLN dengan IPP saat ini sudah terbukti membuat perusahaan setrum negara itu semakin tidak berdaya dalam menghadapi over supply. Ia pun mengusulkan agar skema TOP yang dijalankan terhadap IPP berbahan baku energi fosil, diubah menjadi skema TOP untuk pembangkit EBT, khususnya PLTS Atap.
“Saatnya presiden Jokowi menghentikan sistem Take or Pay dalam pembelian listrik tenaga fosil, lalu menggantinya dengan Take and Pay (dengan kriteria climate change). Take or Pay hanya berlaku untuk pembangkit EBT,” ujar Salamuddin, Jumat (3/9/2021).
Menurut Salamuddin, kondisi over supply saat ini bagi PLN ini adalah bencana besar. Produksi listrik yang melimpah yang dihasilkan oleh pembangkit listrik swasta wajib dibeli oleh PLN. Jika terjadi kelebihan produksi listrik swasta juga wajib dibeli oleh PLN. Ini merupakan konsekuensi atas perjanjian listrik TOP.
“Kondisi keuangan PLN berdarah darah. Untuk membeli listrik swasta PLN harus menimbun hutang. Sekarang hutangnya telah mencapai lebih dari Rp 750 triliun. Utang yang tidak akan dapat dilunasi dan akan terus ditumpuk agar PLN tetap bisa membeli listrik swasta tersebut. Karena itu wajib dibeli,” pungkasnya. (SNU)
Leave a comment