

ReforMiner Beberkan Permasalahan Bisnis Gas Bumi di Tanah Air
ENERGIMIGAS April 17, 2021 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergi.com
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menilai, permasalahan yang terjadi dalam industri gas bumi di tanah air adalah karena antara sebaran produksi atau lokasi cadangan dengan sebaran pengguna berbeda dan saling berjauhan. Pasalnya sekitar 85 persen cadangan dan produksi gas itu ada di wilayah Indonesia bagian Timur, sebaliknya 85 persen penggunanya justru berada di wilayah Indonesia bagian Barat.
“Ironisnya gas yang diproduksi di Papua tidak bisa dibawa ke Indonesia Barat dalam bentuk gas begitu saja tetapi harus diubah menjadi cair atau LNG. Mau tidak mau infrastruktur yang menjadi kuncinya. Dan itu membutuhkan biaya besar,” katanya dalam diskusi online yang digelar Energy Watch bersama Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) dan Situs Energi bertajuk “PGN Rugi Salah Siapa?” Jumat (16/4/2021),
Pilihan lainnya kata dia, adalah infrastruktur pipa transmisi dan distribusi, misalnya dari Papua sampai konekting ke Jawa dan Sumatera, namun tentu saja pilihan ini juga akan mahal sekali.
“Dulu juga pernah diinisasi jalur pipa Kalimantan Jawa atau Kalija oleh Bakrie Grup namun hingga hari ini juga tidak terlaksana,” tukasnya.
Menurut Komaidi, investasi untuk membangun pipa transmisi dan distribusi gas bumi hampir sama dengan investasi untuk membangun jalan tol. Jika untuk membangun jalan tol investor akan menghitung dulu berapa volume kendaraan yang akan lewat hingga investasinya kembali. Maka di gas juga demikian, di mana mereka akan menghitung berapa volume gas yang akan ditransfertasikan di dalam jaringan infrastruktur yang sudah dibangun tersebut.
“Sayangnya komitmen ini berkaitan dengan suplai dan permintaan, karena gas ini tidak akan diproduksi sebelum ada pembeli yang akan membeli barang tersebut kecuali jika mau diubah menjadi LNG itupun harus ada pembeli pembeli dulu,” tukasnya.
Dalam bisnis transmisi dan distribusi gas bumi ini, PGN bisa mengambil tarif dari setiap mmbtu gas yang menggunakan infrastrukturnya dengan tarif yang sudah ditetapkan oleh Badan Pengatur Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
“Cara lain yang bisa dilakukan PGN adalah bisnis niaga gas, seperti lembaga perantara kalau di perbankan, yakni membeli dari hulu dengan berapa kemudian di jual ke hilir berapa, dan PGN akan mendapatkan dari selisih yang muncul,” paparnya.
Yang menjadi masalah, lanjut dia adalah
Kepmen yang terkait dengan ESDM Harga dan Pengguna Gas Bumi di Bidang Industri dan Kelistrikan yang dipatok maksimal hanya USD 6 per MMBTU di gerbang pabrik atau di titik serah pengguna.
“Saya kira harga gas US $ 6 ini yang menjadi masalah sejak awal regulasi ini diterbitkan, dan kami sudah mengkritisi hal itu. Kalau kita lihat sebaran harga gas di kepala sumur (well head) atau di hulunya, untuk Indonesia bagian barat rata-rata sudah di atas USD 7 bahkan ada yang USD 9 atau pula yang sudah US $ 10 per mmbtu, ”cetus Komaidi.
“Menurut saya ini tidak logis, karena harga di kisaran US $ 7 – US $ 10 per mmbtu, namun PGN menjualnya hanya dengan harga US $ 6 per mmbtu. Bagaimana bisa untung, untuk biaya transportasinya saja sudah tidak ketemu, ”tambahnya.
Untuk wilayah Indonesia bagian Barat sendiri, dia juga, biaya produksi-nya sudah di atas US $ 6, sehingga tidak salah jika mereka menjual di atas US $ 7 per mmbtu.
“Saya kira kalau PGN beli sebesar US $ 7 per mmbtu, lalu menjualnya dengan harga US $ 6 per mmbtu tidak ketemu rumusnya. Saya kira mereka (PGN) melakukan berbagai upaya untuk melakukan subsidi silang, misalnya dengan membeli dari wilayah Indonesia timur yang harganya masih di kisaran US $ 2 – US $ 4 per mmbtu, ”tukasnya.
Menurutya bukan hanya PGN tetapi hampir semua rantai bisnis di gas mengalaminya, hanya saja yang sudah kena dan berteriak duluan PGN.
Saya kira semua merasakannya, coba tanya ke Medco, Pertamina, Pertagas yang jualan gas, saya kira sama saja. Besarannya saja karena PGN ini bisnisnya banyak di niaga sehingga lebih banyak, ”tutup Komaidi.
Seperti diketahui, kisruh harga gas ini bermula saat mengoreksi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi atas masukan dari Kamar Dagang Industri (Kadin) dan para pengusaha mengenai daya saing di sektor industri.
Perpres tersebut kemudian direvisi melalui Perpres nomor 121 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Perpres 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Di tahun yang sama terbit juga Peraturan Menteri ESDM nomor 40 tahun 2016 tentang Harga Gas Bumi Untuk Industri Tertentu serta Kepmen ESDM nomor 89 K / 10 / MEM / 2020 dan Kepmen ESDM nomor 91K / 10 / MEM / 2020 terkait Harga dan Pengguna Gas Bumi di Bidang Industri dan Kelistrikan yang dipatok maksimal hanya USD 6 per MMBTU di plant gate atau di titik serah pengguna. (Adi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.