Jakarta, situsenergy.com
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan bahwa kemampuan pengolahan minyak mentah oleh Pertamina hanya tiga persen dari pasokan global. Hal ini disebabkan karena biaya produksi yang masih mahal.
“Mahalnya Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia salah satu alasannya adalah karena biaya produksi masih mahal akibat masih terbatasnya kapasitas kemampuan pengolahan kilang BBM Pertamina,” kata Nicke Widyawati pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi Komisi VII DPR, di Jakarta, Senin (06/10/2020).
Menurut Nicke, presentasi kemampuan yang minim tersebut berpengaruh pada supply and demand atau kebutuhan dan permintaan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada harga hilir. “Hal ini mengakibatkan harga BBM di dalam negeri menjadi mahal,” ucapnya.
Sebelumnya diungkapkan, PT Pertamina (Persero) akan bekerja sama dengan Singapura agar dapat menyimpan stok BBM di kilang milik Indonesia.
“Kami akan beli BBM jangka panjang dengan Singapura, tapi kami minta stok BBM-nya disimpan di Indonesia,” kata Direktur Logistik dan Infrastruktur PT Pertamina Mulyono.
Sementara Direktur Utama PT Kilang Pertamina International (KPI) Ignatius Tallulembang pada kesempatan yang sama mengungkapkan, bahwa selama pandemi Covid-19 permintaan bahan bakar jenis solar menurun drastis sehingga perseroan memutuskan dijual melalui ekspor dengan harga murah.
“Pasokan secara angka berlebih, sedangkan permintaan di dalam negeri sendiri turun, maka kami memutuskan untuk dijual ekspor lebih murah,” katanya.
Menurut dia, sebenarnya kilang Pertamina sudah dioperasikan pada angka minimum ketika permintaan berangsur menurun, namun dengan angka minimum tersebut tetap saja menghasilkan solar yang berlebih.
“Di sisi lain produksi tidak mungkin dihentikan karena produ seperti LPG, gasolin, dan produk turunan lainnya masih dibutuhkan keberadaan pasokannya. Karena keputusan tidak menghentikan produksi, maka pilihannya adalah dijual ke luar negeri dengan mekanisme harga pasar,” papar Ignatius.
Seperti diketahui Pertamina sebelumnha mengekspor 200 ribu barel atau 31,8 ribu kiloliter (kl) solar premium atau minyak diesel kecepatan tinggi (High Speed Diesel/HSD) senilai 9,5 miliar dolar AS ke Malaysia.
Ironisnya, kata dia, pada saat dilepas ke pasar global tersebut harganya sedang mengalami penurunan sehingga harus mengikuti standar harga yang ada. “Itulah kenapa dijual ke luar negeri dengan harga yang lebih murah,” katanya.(ERT/rif)
Leave a comment