


Jakarta, situsenergy.com
Anjloknya harga minyak dunia di tengah pandemi Corona telah membuat beberapa negara melakukan evaluasi terhadap harga jual BBM yang mengacu pada standar perhitungan harga BBM di negara masing-masing. Hal ini membuat beberapa pihak latah bicara tentang penurunan harga BBM yang tak kunjung dilakukan oleh Pemerintah. Salah satunya Said Didu mantan Sekretaris Kementerian BBM yang dinilai cenderung provokatif dengan judul yang bombastis memfitnah pemerintah dengan tuduhan memeras rakyat.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutaheaean menilai tuduhan Didu tersebut kurang tepat bahkan bisa disebut salah karena tidak mengedepankan fakta yang benar. “Kritik tentu boleh dan sah serta harus, tapi jangan provokasi rakyat dan jangan memfitnah pemerintah dengan info yang kurang tepat,” kata Ferdinand di Jakarta, Senin (27/4).
Menurut dia, harga BBM di dalam negeri saat ini masih cenderung murah jika dibandingkan dengan harga BBM di sejumlah negara Asean. “Di ASEAN saja harga BBM Pertamina masih di bawah Singapura, Laos, Thailand, Pilipina dan Kamboja. Jadi apa dasar menyebut mahal? Tidak jelas dan ini asumsi pribadi saja dari Said Didu,” kata Ferdinand.
Tudingan soal Pemerintah dan Pertamina memeras rakyat dengan harga BBM mahal juga tidak tepat. “Jika soal mahal atau murah saja tak terjawab dan tidak jelas acuannya kecuali asumsi pribadi, lantas bagaimana acuan menyebut Pemerintah dan Pertamina telah memeras rakyat dengan harga BBM mahal? Tanya Ferdinand.
Seperti diketahui, Said Didu dalam tulisannya menyebut peran mafia dan menyalahkan Pemerintah melalui Keputusan Menteri yang mentapkan MOPS (Mean Oil Platts Sinagpore) sebagai biang kerok. Padahal MOPS ini adalah acuan internasional yang berlaku bagi trader dunia dan basisnya adalah Minyak Brent bukan WTI.
“Tidak serta merta bahwa menggunakan MOPS sebagai acuan maka Pertamina sudah bisa disebut kolaborasi dengan mafia, tidak seperti itu karena Pertamina tidak hanya mengimpor minyak dari Singapore tapi dari banyak sumber yang dilakukan ole ISC Pertamina di Jakarta bukan lagi oleh Petral di Singapura,” paparnya.
Lebih jauh Ferdinand mengatakan, Keputusan Menteri ESDM Nomor 62 tujuannya adalah untuk melindungi rakyat dari penetapan harga minyak mengikuti mekanisme pasar. “Pemerintah dan Pertamina tentu tak ingin rakyat bingung setiap saat bila harga tiba-tiba berubah mengikuti mekanisme pasar. Karena dampaknya juga terhadap dunia usaha akan kesulitan menghitung biaya produksi karena perubahan harga yang terjadi sesuai pasar,” tukasnya.
Itu sebabnya, kata dia, sejak dulu Indonesia tidak pernah menjadikan mekanisme pasar untuk menetapkan harga, di mana ketika harga minyak dunia naik, maka harga BBM pun naik demikian sebaliknya. “Ini konsep liberal yang sejak dulu kita lawan,” ketusnya.
Menurut Ferdinand, di sinilah keleliruan Said Didu, teriak Indonesia, bicara nasionalisme tapi dalam tulisannya malah cenderung ingin membawa kepada liberalisme pasar. “Apakah rakyat siap bila harga minyak dunia naik lalu harga BBM naik tanpa subsidi? Ini yang tidak dijelaskan Said Didu yang hanya bicara Pemerintah memeras rakyat lewat harga BBM tapi tidak mejelaskan bahwa rakyat mendapat subsidi selama ini karena Pertamina menjual di bawah harga keekonomian.
Ini provokasi yang tidak berbasis data,” tukasnya.
Intinya, kata dia, terkait perhitunga harga BBM, Pemerintah sudah mengaturnya melalui Perpres dan Peraturan Menteri ESDM. Secara periodik agar rakyat terhindar dari ketidak pastian liberalisme pasar. “Yang pasti ketika harga naik, selama ini Pemerintah memberi subsidi bagi rakyat. Ini mekanisme yang baik yang harus dijaga,” ujarnya.
“Pada saatnya harga akan dievaluasi dan diturunkan mengkuti mekanisme yang kita tetapkan. Memang sudah saatnya diturunkan secara periodik tapi tidak tepat sama sekali bila disebut memeras karena harga belum turun,” pungkasnya.(Adi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.