Jakarta, Situsenergy.com
Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara mengatakan, bahwa SKK Migas sebagai lembaga pengawas dan pengendali kegiatan industri hulu migas nasional yang telah dibayar negara dengan biaya yang sangat mahal, termasuk yang harus dituntut mempertanggungjawabkan timbulnya masalah Floating Production Unit (FPU).
Pada SKK Migas pada tanggal 8 Mei 2017 telah merestui disepakatinya Kontrak No.332004438 antara Husky CNOOC Madura Limited (HCML) dengan Konsorsium PT Anugrah Mulia Raya (AMR) tentang Lease-Purchase of Floating Production Unit (FPU) bernilai kontrak US$ 386 juta dan jaminan pelaksanaan senilai US$ 19.31 juta itu. “Ironisnya, hingga saat ini sarana FPU tersebut tidak jelas progresnya, sehingga dengan keterlambatan proyek ini negara dan rakyat berpotensi dirugikan triliunan rupiah,” kata Marwan dalam keterangan persnya yang diterima HarianSentana.com di Jakarta, Selasa (31/12).
Lebih jauh ia mengungkapkan, pada saat PT Duta Marine (DM) ditetapkan sebagai pemenang tender proyek FPU, nilai penawarannya adalah USD 352,8 juta. Untuk itu DM juga menyerahkan jaminan berupa Bid Bond sebesar US$ 3,9 juta. “Namun berdasarkan laporan Audit BPK pada 2018, ternyata SKK Migas justru tidak mengenakan penalti atau mencairkan Bid Bond yang diserahkan DM kepada HCML/SKK,” sesalnya.
Padahal, lanjut dia, pencairan atau penyitaan Bid Bond atas proyek gagal merupakan hal yang lumrah dilakukan dalam pengadaan proyek sesuai proses tender. Dalam hal ini mantan Kepala SKK Amien Sunaryadi patut digugat karena membebaskan DM dari kewajiban membayar penalti akibat gagal menjalankan kontrak. “Pinalti sebesar US$ 3,9 juta tersebut merupakan kerugian negara yang telah lolos untuk bisa menjadi pendapatan negara,” ujarnya.
Lolosnya penalti Bid Bond diduga sarat moral hazard yang melibatkan Amien Sunaryadi, yang saat ini telah diangkat menjadi Komisaris Utama PLN. “Faktanya, mantan kepala SKK Migas Amin Sunaryadi memang pernah diperiksa oleh Bareskrim Polri pada Febuari 2018, namun tidak diperoleh informasi akurat tentang hasil pemeriksaan dan kelanjutan dari status Bid Bond senilai US$ 3,9 juta yang harusnya masuk menjadi pendapatan negara,” beber mantan Anggota DPD dari dapil DKI ini.
Ironisnya, kata dia, setelah dirugikan dalam kasus Bid Bond tersebut, negara pun harus menerima kenyataan bahwa proyek FPU untuk Blok Migas Madura Strait masih tetap gagal terwujud hingga sekarang. “Meskipun AMR merupakan pelaksana proyek yang telah wan-prestasi dan harus bertanggungjawab, termasuk menanggung penalti keterlambatan, namun SKK Migas tetap menjadi pihak yang juga harus ikut bertanggungjawab,” ulang Marwan.
Sebab, kata dia, keterlambatan atau gagalnya penyelesaian proyek FPU HCML bisa saja berpangkal dari penyimpangan proses pengadaan dan kelalaian pengawasan oleh pejabat SKK Migas, termasuk saat pelaksanaan proyek yang berlangsung hingga saat ini. “Karena ini bukan delik aduan, seharusnya Kementerian ESDM dan lembaga-lembaga terkait dapat terlibat aktif untuk mengusut kasus ini guna mengamankan kebijakan Presiden Jokowi yang sedang berupaya meningkatkan produksi migas guna mengurangi defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan,” tukasnya.
Ia menambahkan, keterlambatan atau kegagalan proyek FPU HCML tentu telah sangat merugikan negara, diantaranya komersialisasi lapangan tertunda, kesempatan memperoleh keuntungan tertunda, masa produksi sesuai kontrak berkurang, lifting migas turun, pendapatan negara turun, iklim investasi hulu migas terganggu dan kegiatan industri Jawa Timur terkendala. “Di samping itu, dengan lifting migas yang turun maka defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan pun ikut meningkat,” katanya.
Karena besarnya kerugian negara akibat kegagalan proyek FPU, lanjut dia, maka pemerintah dan lembaga penegak hukum, terutama Polri dan KPK harus segera mengambil tindakan hukum. “Penyelidikan kasus KKKS Blok Selat Madura ini harus dimulai dari saat proses tender berlangsung pada 2016-2017, termasuk gagalnya pencairan Bid Bond dari MD dan ditunjuknya AMR secara otomatis sebagai pengganti, yang ternyata juga gagal menyelesaikan proyek sesuai kontrak, yang mestinya dikenakan sanksi,” tutup Marwan.(adi)
Leave a comment